Pembuktian Cinta Hamba Pada Tuhan

Satu kata yang identik dengan cinta yaitu kenyamanan. Cinta tumbuh subur di sekeliling kita. Asalkan dalam diri ini memberikan energi positif ke orang-orang yang ada di kanan kiri. Mengapa demikian, sebab getaran cinta salah satunya muncul karena perlakuan diri pada orang lain. Sikap yang kita tunjukkan ke mereka atau reaksi kita saat menghadapi kejadian yang ada di depan mata tanpa disadari diperhatikan orang lain.

Cinta bisa dikasihkan ke siapa saja mulai dari keluarga, teman, guru, murid sampai Tuhan pencipta alam. Namun, semua itu tidak dapat disamaratakan. Standarisasi cinta antara satu dengan yang lainnya berbeda. Kadar cinta kita pada teman tidak satu tingkat dengan keluarga, meskipun barangkali intensitas bertemunya sama. Jelas cinta untuk keluarga lebih besar daripada cinta pada teman. Begitu pula cinta yang kelasnya horizontal yakni, hamba pada Allah.

Seharusnya di bidang ini perbedaan semakin kentara. Sayangnya, realita memperlihatkan gambar terbalik. Di usia dunia yang menapaki 21 abad, manusia tambah gila harta serta kurang perhatian dengan ibadahnya. Pertemuan yang terjadwal lima kali sehari, sujud menyembah Maha Pemberi Rezeki, justru tersisihkan dengan urusan duniawi. Derajat Tuhan berjuta lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkara dunia. Lalu, pantaskah kita mengabaikan perintah-Nya. Dalam kita Nashoihul Ibad terdapat kutipan Asy-Syibli yang mengatakan اِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَسْتَأْنِسَ بِاللّهِ فَاسْتَوْحِشْ مِنْ نَفْسِكَ  artinya “Apabila kamu ingin lebih cinta kepada Allah, maka kalahkanlah rasa cintamu terhadap dirimu sendiri.”

Merujuk kalimat di atas, cinta atas diri sendiri saja harus dikalahkan agar sampai di titik cinta pada Tuhan, tentu cinta harta, teman, dan lainnya juga semampu mungkin diminimalisirkan. Karena dunia dan segala isinya adalah makhluk Allah yang bersifat fana, akan hilang tergerus masa. Dan besar kecilnya kadar cinta pada sesuatu terlihat dari seberapa keras perjuangannya. Jangan mengharap belas sebelum berusaha.

Adapun cara untuk menunjukkan cinta makhluk pada Tuhan diantaranya; istiqomah ibadah dan menjaga hubungan dengan sesama. Pertama istiqomah ibadah, menjaga ibadah adalah akses seorang hamba untuk memohon pertolongan, mengadu sekaligus membuktikan bahwa kita tidak mengedepankan gemerlap dunia. Disini, beribadah merupakan momen yang tepat bagi kita meminta perhatian lebih dari Tuhan. Sangat disayangkan jika kesempatan ini disia-siakan.

Apakah hal ini diperbolehkan, jawabannya tentu boleh. Rasulullah yang menyandang gelar sebagai kekasih Allah melakukan hal serupa. Menghabiskan waktunya untuk beribadah siang dan malam. Padahal beliau menyandang gelar ma’shum (bersih dari dosa). Tetapi tidak jemu untuk terus meminta, entah doa tersebut ditujukan kepada sahabat maupun umatnya. Apabila kita telaah secara detail, dua aspek terangkum menjadi satu di perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu cinta kepada Tuhan dengan tidak memandang balasan dan cinta pada umat meskipun belum pernah bertatap muka atau hidup se-zaman.

Kedua, menjaga hubungan dengan sesama. Interaksi antar manusia terjadi di manapun tempat. Bahkan sekalipun kita sendiri tetapi masih mengantongi gadget sudah pasti ada interaksi. Faktor pendorong interaksi dan hubungan yang baik dengan sesama terletak di komunikasi yang baik. Tutur kata saat ngobrol dengan orang yang lebih muda, seumuran atau orang tua harus dibedakan. Karena setiap perkataan ada tempatnya masing-masing.

Saling menegur sapa dan menolong merupakan gerbong lain yang mengantarkan kita pada hubungan baik. Jangan terlalu acuh pada lingkungan karena selain pada dasarnya kita hidup butuh orang lain, kita juga melanggar perintah Tuhan hamblum minannas. PerintahNya saja dilanggar lancing sekali jika kita ngomong cinta kepada Allah.

Bagikan

BACA BERITA